Sample Text

Ads 468x60px

Social Icons

Featured Posts

Minggu, 13 Desember 2015

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN MATEMATIKA PADA ZAMAN KUNO

Dua bidang pengetahuan rasional yang tidak diragukan lagi berhubungan sangat erat sejak dulu sampai sekarang ialah filsafat dan matematika. Namun hubungan itu sering diuraikan secara keliru oleh sebagai filsuf maupun ahli matematika. Mungkin karena terkesan oleh perkembangan filsafat pada zaman dulu, orang memberikan kedudukan utama kepada filsafat.
Misalnya saja 3 ahli metematika Charles Brumfiel, Robert Eicholz, dan Merrill Shanks yang bekerja sama mengarang sebuah buku pelajaran geometri menulis pernyataan yang berikut : ”In the early Greek civilization, philosophy was the study of all branches of knowledge. As man’s learning increased through  the ages, certain disciplines  the ages, certain discipline grew until they split away from philosophy and became separate areas of study. We no longer  think  of  medicine, economics, etc, as parts of philossophy, although philosophy was the father of all these sciences.” (Pada awal peradaban yunani, filsafat adalah penelaahan dari semua cabang pengetahuan. Ketika pengetahuan ilmiah manusia bertambah selama berabad – abad, cabang- cabang ilmu tertentu tumbuh sampai mereka memisahkan diri dari filsafat dan menjadi bidang- bidang studi yang terpisah. Kita tidak lagi menganggap ilmu kedokteran, ilmu hukum, matematika, fisika, kimia, biologi ilmu ekonomi, dan lain- lainnya sebagai bagian-bagian dari filsafat, meski pun filsafat merupakan ayah dari semua ilmu ini.)
Dari pihak filsuf sendiri misalnya Francis bacon (1561-1626), toko pembaharu Zaman Renaissance dari Inggris, menyebut filsafat sebagai “the great mother of the sciences” (ibu agung dari ilmu-ilmu). Jadi semua cabang ilmu termasuk matematika dianggap lahir dari ”ayah” atau “ibu” yang terkenal sebagai filsafat.
Betapa kelirunya pendapat-pendapat di atas akan ditunjukan dalam urayan berikut. Filsafat dan geometri (suatu cabang matematika) sesungguhnya lahir pada masa yang berbarengan, di tempat yang sama, dan dari ayah yang tunggal, yakni sekitar 640-546 sebelum masehi, di Miletus (terletak di pantai barat negara Turki sekarang), dan dari pikiran seorang pandai bernama Thale. Oleh seorang ahli dewasa ini Wesley Salmon yang menulis sebuah pengantar kefilsafatan tentang ruang, waktu, dan gerak, filsafat  dan geometri diyatakan sebagai “the twin sisters” (saudari kembar).
Daerah kelahiran filsafat dan matematika pada zaman Yunani Kuno dapatlah kiranya dilihat pada peta yang berikut:
Thales dari Miletus oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Ayah dari Filsafat (the Father of Philosopy). Oleh sebagian sarjana  ia dianggap sebagai ilmuwan pertama dari dunia ini karena mempelopori ilmu ukur dan ilmu falak. Oleh orang–orang Yunani kemudian Thales dimasukkan sebagai salah seorang dari tujuh Orang Arif Yunani (Seven Wise Men of Greece). Ia merupakan filsuf yang mendirikan mashab filsafat alam Ionia dan mempertanyakan unsur tunggal apa yang menjadi dasar perubahan atau membentuk jagat ini.Jawabannya ialah bahwa materi dasar kosmis itu ialah air, sedang bumi ini merupakan suatu benda berbentuk piring yang mengapung pada suatu kumpulan air yang tak terbatas. Jadi Thales mempelopori kosmologi sebagai filsafat alam yang mempersoalkan asal mula, sifat alami, dan struktur dari jagat raya ini. Sebagai ilmuwan Thales mempelajari magnetisme dan listrik, mengemukakan pendapat bawah bulan bersinar karena memantulkan cahaya dari matahari, dan meramalkan terjadinya gerhana matahari pada tahun 585SM.
Sebuah legenda mengenai orang arif ini mengisahkan bahwa Thales mengangkut garam dengan memakai keledainya. Pada suatu hari secara tak sengaja keledai itu terjatuh di sungai sehingga garamnya larut dan bebannya menjadi enteng. Pada waktu-waktu berikutnya keledai itu mempunyai kebiasaan menjatuhkan diri kedalam sungai untuk meringankan bawaannya. Thales menyembuhkan kebiasaan licik itu dengan membebani hewannya untuk mengangkut bunga karang sehingga sepon itu menjadi lebih berat kalau kemasukan air. Ternyata budi manusia senantiasa lebih unggul dari pada kecerdikan hewan apapun.
Dalam sejarah matematika Thales diakui sebagai pencipta dari geometri abstrak yang pertama berdasarkan rangkaian petunjuk mengukur tanah yang telah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa Babylonia dan Mesir selama berabad-abad. Ia merupakan ahli matematika Yunani pertama yang oleh Ward Bouwama dinyatakan pula sebagai ayah dari penalaran deduktif (the father of deductive reasoning).Thales merubah petunjuk-petunjuk praktis Babylonia dan Mesir itu menjadi proposisi-proposisi yang secara matematis dibuktikan kebenarannya langka demi langkah seperti yang terlihat dalam pembuktian-pembuktian ilmu ukur dewasa ini. Ia sendiri diakui telah membuktikan 6 dalil pokok geometri, di antaranya dalil bahwa kedua sudut alas dari suatu segitiga sama kaki adalah sama besarnya. Tetapi geometri praktis juga mendapat perhatiannya, yakni dengan menemukan cara mengukur tinggi piramid berdasarkan bayangannya. Untuk mengukur itu konon Thales berdiri menunggu di bawah sinar matahari dekat sebuah piramid, dan pada saat panjang bayangan badannya sama dengan tinggi badannya yang telah diketahui  Ia lalu mengukur panjang bayangan di tanah dari piramid itu yang tentulah merupakan pula tinggi. Cara menghitung jarak antara sebuah kapal dengan tepi pantai ditemukan juga oleh Thales.
Dari bukti historis di atas ternyatalah pendapat bahwa filsafat merupakan ayah ibu dari matematika adalah keliru. Matematika tidak pernah lahir dari filsafat, melainkan keduanya berkembang bersama-sama dengan saling memberikan persoalan-persoalan sebagai bahan masuk  dan umpan balik. Dalam lintasan sejarah kedua saudari kembar filsafat dan matematika itu selanjutnya tumbuh bersama-sama dibawah asuhan filsuf yang juga ahli matematika pythagoras (572-497 S.M.). Ia mendirikan mazhab pythagoreanisme di Crotona yang mengemukakan ajaran filsafat bahwa substansi dari semua benda ialah bilangan dan bahwa segenap gejala alam merupakan pengungkapan inderawi dari perbandingan-perbandingan matematis. Mazhab ini menyimpulkan pula bahwa bilangan merupakan intisari dan dasar pokok dari sifat-sifat benda. Filsafat pythagoras dan para penganutnya dipadatkan menjadi sebuah dalil yang berbunyi ”Number rules the universe” (bilangan memerintah jagad raya ini). Seiring dengan filsafat yang mengagungkan bilangan-bilangan yang itu, Mazhab tersebut juga menelaah dan mengembangkan pokok soal matematika yang kini termasuk teori bilangan. Misalkan saja dipelajari susunan bilangan mempunyai bentuk geometris (figurate numbers) yang contohnya berikut.
Berdasarkan jumlah titik dan pola susunannya kelima contoh diatas merupakan 5 macam figurate numbers yang berikut:
A)    10 : bilangan segitiga
B)    16 : bilangan bujursangkar
C)    20 : bilangan segi-empat panjang
D)    22 : bilangan segilima
E)    25 : bilangan segi-enam
Teori bilangan itu oleh para pengikut Pythagoras dikaitkan pula dengan ajaran mistik. Misalnya menurut kepercayaan mereka, bilangan 1 mewakili akal, bilangan 2 mewakili pria, bilangan 3 diperuntukkan pengertian wanita, bilangan 4 menunjuk pada keadilan (karena merupakan hasil kali dua bilangan yang sama), sedang bilangan 5 dianggap mencerminkan perkawinan (karena penggabungan pria dan wanita, 2 + 3) Bilangan 10 yang berbentuk geometris segitiga dan dinamakan tetraktys karena mempunyai 4 baris dianggap sebagai suatu bilangan yang suci. Bilangan ini merupakan penggabungan 4 hal yang mewujudkan suatu keseluruhan dari akal dan keadilan dari pria serta wanita maupun penciptaan kosmos dengan 4 unsur pokok berupa air, api, udara, dan tanah.
Berdasarkan perbandingan di antara bilangan-bilangan diperkembangkan pula teori musik. Dari penyelidikannya Pythagoras menemukan bahwa perbedaan nada-nada dalam musik ditentukan oleh perbandingan-perbandingan antara bilangan-bilangan bulat. Gambar biola berikut dengan seuntai senar yang dihimpitkan di atasnya akan menjelaskan teori matematis tentang musik tersebut.
  1. Kedudukan jari I menghasilkan suatu panjang senar yang mengeluarkan nada C rendah, satu oktaf di bawah nada C tengah.
  2. Posisi kedua yang merupakan  ¾ dari panjang senar itu memberikan nada F di atas nada C rendah.
  3. Posisi ketiga, 2/3  panjang senar menghasilkan nada G.
  4. Kedudukan jari pada titik IV yang merupakan 1/2 dari panjang senar yang bersangkutan memberikan nada C tengah.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan metafisika dan doktrin mistik Mazhabnya,Phytagoras sendiri merupakan seorang ahli dikenal oleh setiap anak sekolah menengah karena dalil Pythagoras yang dirumuskannya : ”Jumlah dari luas 2 sisi sebuah segitiga siku-siku adalah sama dengan dua sisi miringnya” atau lebih terkenal dengan rumus a^2 + b^2 = c^2.
Pembuktian langkah demi langkah secara matematis terhadap kebenaran dalil Pythagoras itu kemudian dimuat dalam buku Elements yang disusun oleh Euclides, konon seorang guru besar matematika pada universitas di Alexandria dan juga pembentuk mazhab Alexandria dalam matematika
Hubungan timbal-balik dan saling pengaruh antara filsafat dan matematika dipacu pula oleh filsuf Zeno dari Elea. Beliau memperbincangkan paradoks-paradoks yang bertalian dengan pengertian-pengertian gerakan, waktu, dan ruang yang kemudian selama berabad-abad membingungkan para filsuf dan ahli matematika.
Dua perbincangan paradoks yang terkenal  dari Zeno (semuanya ada 4 buah ) sebagai contoh saja yang kemudian baru dapat diselesaikan oleh para ahli matematik dalam abad 17 ialah :
1. Keganjilan Dikotomi
Menurut Zeno gerak tidaklah mungkin terjadi . Untuk sesuatu benda bergerak mencapai suatu jarak tertentu, benda itu harus menempuh ½ dari jarak termaksud, dan sebelum menempuh setengah jarak itu harus pula melewati ½ jarak yang terdahulu ini, demikian seterusnya setiap kali ada jarak ½  yang harus dijalani secara terus menerus. Ini berarti ruang yang dapat dibagi dalam dikotomi yang jumlahnya tidak terhingga tidak mungkin ditempuh dalam jangka waktu yang tertentu. Dengan demikian menurut perbincangan ini, bergerak dari suatu titik ke titik lain tidaklah mungkin.
2. Keganjilan Achilles.
Pelari cepat Achiles tidak mungkin mengejar seekor kura-kura yang lambat bilamana binatang itu telah berjalan mendahului pada suatu jarak tertentu. Argumentasi yang dikemukakan Zeno ialah bahwa pada saat Achilles mencapai titik berangkat yang pertama dari kura-kura itu binatang itu telah berjalan maju menempuh suatu jarak tertentu. Ketika Achilles mengejar sampai titik yang kedua itu, kura kura sudah maju lagi demikian seterusnya sehingga binatang itu selalu berada di muka Achilles.
Paradoks-paradoks Zeno itu selama 20 abad lebih tidak dapat dipecahkan orang secara logis. Penyelesaiannya barulah dimungkinkan setelah ahli-ahli matematika menciptakan pengertian limit dari seri tak terhingga. Bila suatu rangkaian bilangan betapapun banyaknya menjurus pada suatu titik (disebut proses konvergensi), seri tersebut mempunyai sebuah limit yang merupakan jumlah dari rangkaian itu walaupun banyaknya tak terhingga. Berdasarkan konsep-konsep matematika yang baru itu perbincangan-perbincangan Zeno tidak lagi merupakan paradoks karena dapat ditangani secara logis.
Seorang filsuf besar dari Yunani Kuno setelah masa hidup Zeno yang menegaskan hubungan yang amat erat antara matematika dan filsafat ialah Plato. Kalau pythagoras menekankan pentingnya matematika sebagai suatu sarana atau alat bagi pemahaman filsafati, Plato menegaskan bahwa geometri sebagai pengetahuan ilmiah berdasarkan akal murni (pure reason) menjadi kunci kearah pengetahuan dan kebenaran filsafati serta bagi pemahaman mengenai sifat alami dari kenyataan yang terakhir (the of ultimate reality). Menurut Plato geometri merupakan suatu llmu yang dengan akal murni membuktikan proposisi-proposisi abstrak mengenai hal-hal abstrak seperti misalnya garis lurus, segitiga atau lingkaran yang sempurna. Bentuk-bentuk geometris yang abstrak ini dianggap lebih nyata dari pada benda-benda fisik biasa yang melukiskan bentuk-bentuk itu secara tak sempurna. Begitu tinggi penghargaannya terhadap ilmu tersebut sehingga konon pintu gerbang Akademi Plato tempat orang belajar filsafat tertulis kalimat berikut : Yang terjemahan Inggrisnya berarti ”Let no man ignorat of geometry enter” (janganlah orang yang tak berpengetahuan geometri masuk). Dalam sejarah matematika diberitakan pula bahwa Plato menyatakan : ”God ever geometrizes” (Tuhan senantiasa bekerja dengan metode geometris).

0 komentar:

Posting Komentar