PERANAN FILSAFAT PENDIDIKAN DALAM PENGEMBANGAN ILMU PENDIDIKAN
Tujuan filsafat pendidikan
memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran
yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang
kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat
pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan
serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara
guru dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan
menggunakan rambu-rambu dari teori-teori pendidikan. Peranan filsafat
pendidikan memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan
negara bagi masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan
mengajukan pertanyaan tentang kebijakan pendidikan dan praktik di
lapangan dengan menggunakan rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang
guru perlu menguasai konsep-konsep yang akan dikaji serta pedagogi atau
ilmu dan seni mengajar materi subyek terkait, agar tidak terjadi salah
konsep atau miskonsepsi pada diri peserta didik.
Beberapa Aliran Filsafat dalam Pendidikan
Beberapa aliran filsafat
pendidikan yang berpengaruh dalam pengembangan pendidikan, misalnya,
idealisme, realisme, pragmatisme, humanisme, behaviorisme, dan
konstruktivisme. Idealisme berpandangan bahwa pengetahuan itu sudah ada
dalam jiwa kita. Untuk membawanya pada tingkat kesadaran perlu adanya
proses introspeksi. Tujuan pendidikan aliran ini membentuk karakter
manusia. Aliran realisme berpandangan bahwa hakikat realitas adalah
fisik dan ruh, bersifat dualistis. Tujuan pendidikannya membentuk
individu yang mampu menyesuaikan diri dalam masyarakat dan memiliki rasa
tanggung jawab kepada masyarakat. Pragmatisme merupakan kreasi filsafat
dari Amerika, dipengaruhi oleh empirisme, utilitarianisme, dan
positivisme. Esensi ajarannya, hidup bukan untuk mencari kebenaran
melainkan untuk menemukan arti atau kegunaan. Tujuan pendidikannya
menggunakan pengalaman sebagai alat untuk menyelesaikan hal-hal baru
dalam kehidupan priabdi dan masyarakat. Humanisme berpandangan bahwa
pendidikan harus ditekankan pada kebutuhan anak (child centered).
Tujuannya untuk aktualisasi diri, perkembangan efektif, dan pembentukan
moral. Paham behaviorisme memandang perubahan perilaku setelah seseorang
memperoleh stimulus dari luar merupakan hal yang sangat penting. Oleh
sebab itu, pendidikan behaviorisme menekankan pada proses mengubah atau
memodifikasi perilaku. Tujuannya untuk menyiapkan pribadi-pribadi yang
sesuai dengan kemampuannya, mempunyai rasa tanggung jawab dalam
kehidupan pribadi dan masyarakat. Menurut paham konstruktivisme,
pengetahuan diperoleh melalui proses aktif individu mengkonstruksi arti
dari suatu teks, pengalaman fisik, dialog, dan lain-lain melalui
asimilasi pengalaman baru dengan pengertian yang telah dimiliki
seseorang. Tujuan pendidikannya menghasilkan individu yang memiliki
kemampuan berpikir untuk menyelesaikan persoalan hidupnya.
Filsafat Pendidikan
Merupakan terapan dari
filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat
dari filsafat.Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja
filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa
hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai.Dalam
filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme,
idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat
pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka
ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan
berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu
sendiri.Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua
kelompok besar, yaitu: Filsafat pendidikan “progresif”Didukung oleh
filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari
Roousseau Filsafat pendidikan “ Konservatif”.Didasari oleh filsafat
idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme
atau realisme religius.
Filsafat-filsafat tersebut
melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan
sebagainya.Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan:
Filsafat Pendidikan Idealisme
memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik.
Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan
tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak
berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara
fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam
aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al
Ghazali
Filsafat Pendidikan Realisme
merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme
berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan
dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek
yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah
adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan
manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos
Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David
Hume, John Stuart Mill.
Filsafat Pendidikan
Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan
rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran
materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach
Filsafat Pendidikan
Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya
berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa
manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang
menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John
Dewey, Heracleitos.
Filsafat Pendidikan
Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara
umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas
pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas
setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa
tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin
Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich
Filsafat Pendidikan
Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat
yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan
yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan
yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang.
Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau
bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william
O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff
Filsafat Pendidikan
esensialisme Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif
yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend
progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan
progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara
kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas
Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell.
Filsafat Pendidikan
Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada
abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang
situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan
ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio
kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan
ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali
nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup
yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini
adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
Filsafat Pendidikan
rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme.
Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif
hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat
yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan
Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat
yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt,
George Count, Harold Rugg.
Fenomena ”Hidup Lebih
Maju”Setiap orang, pasti menginginkan hidup bahagia. Salah satu
diantaranya yakni hidup lebih baik dari sebelumnya atau bisa disebut
hidup lebih maju. Hidup maju tersebut didukung atau dapat diwujudkan
melalui pendidikan. Dikaitkan dengan penjelasaan diatas, menurut
pendapat saya filsafat pendidikan yang sesuai atau mengarah pada
terwujudnya kehidupan yang maju yakni filsafat yang konservatif yang
didukung oleh sebuah idealisme, rasionalisme(kenyataan). Itu dikarenakan
filsafat pendidikan mengarah pada hasil pemikiran manusia mengenai
realitas, pengetahuan, dan nilai seperti yang telah disebutkan diatas.Jadi,
aliran filsafat yang pas dan sesuai dengan pendidikan yang mengarah
pada kehidupan yang maju menurut pikiran saya yakni filsafat pendidikan
progresivisme (berfokus pada siswanya). Tapi akan lebih baik lagi bila
semua filsafat diatas bisa saling melengkapi. Tanpa Filsafat, Pendidikan Matematika Menjadi Lemah.
Lemahnya pendidikan matematika di Indonesia merupakan akibat tidak
diajarkannya filsafat atau latar belakang ilmu matematika. Dampaknya,
siswa, bahkan mahasiswa, pandai mengerjakan soal, tetapi tidak bisa
memberikan makna dari soal itu. Matematika hanya diartikan sebagai
sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk diselesaikan atau
dicari jawabannya.Demikian diungkapkan Prof Dr Maman A Djauhari guru
besar dari ITB dalam acara pembukaann Konferensi Matematika dan
Statistika antara Indonesia-Malaysia, yang digelar di Institut Teknologi
Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Kamis (11/1) siang. Konferensi untuk
kedua kalinya ini digelar selama dua hari,11-12 Januari, diikuti para
pakar matematika dan statistika dari Malaysia dan Indonesia dengan
pemaparan hasil kajian oleh lima orang doktor dan profesor dari
Malaysia. Pengguna Ilmu Dikatakan Maman, karena tidak
menyampaikan tentang filsafat matematika, ke depan Indonesia masih tetap
sebagai bangsa yang hanya sebagai pengguna ilmu, bukan penemu ilmu.
”Kondisi ini sangat memprihatinkan, karena memang pola pendidikan kita
mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tidak diposisikan
sebagai orang yang disiapkan untuk menjadi penemu ilmu. Siswa dan
mahasiswa lebih diposisikan sebagai pengguna ilmu. Fakta ini sangat
memprihatinkan dibanding dengan kita dicap hanya sebagai bangsa pengguna
teknologi,” katanya. Akibat dari semua itu kata dia, sering ditemui
siswa atau mahasiswa tidak mampu memberikan penjelasan atau interpretasi
terhadap sebuah soal dalam matematika.Misalnya, Maman menyodorkan
sebuah contoh, betapa para siswa SMA dan mahasiswa akan dengan mudah dan
dipastikan benar, manakala diminta untuk mengerjakan soal determinan
dari sebuah materik. Tapi ketika ditanya lebih lanjut apa makna dan
pengertian dari determinan yang telah dikerjakannya itu, hampir dapat
di-pastikan, tidak ada yang mengerti.
Inilah problem dasar pada
pendidikan matematika kita di Indonesia. Siswa atau mahasiswa tidak
dibiasakan untuk menginterpretasikan sebuah persoalan. Padahal, kita
tahu, matematika itu adalah interpretasi manusia terhadap fenomena
alam,” katanya. Terhadap kelemahan itu, kata Maman memang tidak ingin
kemudian melakukan perubahan terhadap kurikulum matematika yang sudah
ada, tapi ia hanya berharap ada perubahan paradigma dan cara pandang
baru tentang bagaimana unsur-unsur filsafat itu bisa diberikan kepada
siswa dan mahasiswa. “Tentu ini ditujukan kepada para guru dan dosen
agar apa yang diberikan kepada para peserta didiknya harus dilengkapi
dengan berbagai penjelasan dan latar belakang terhadap sebuah rumus yang
telah diyakininya itu, sebagai sebuah pengetahuan filsafat,”
0 komentar:
Posting Komentar