Di
dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia
fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungannya pada jiwa (mind) dan
roh (spirit). Istilah ini diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang
hadir dalam jiwa.Kata idealisme dalam filsafat mempunyai arti yang sangat
berbeda dari arti yang biasa dipakai dalam bahasa sehari-hari. Kata idealis itu
dapat mengandung beberapa pengertian, antara lain:Seorang yang menerima ukuran
moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya;Orang yang dapat
melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Arti falsafi dari kata idealisme ditentukan
lebih banyak oleh arti dari kata ide daripada kata ideal. W.E.
Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat
digunakan daripada idealism. Secara ringkas idealisme mengatakan bahwa
realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self)
dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai
hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi.
Alam, bagi orang idealis, mempunyai arti dan
maksud, yang diantara aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia. Oleh karena
itulah seorang idealis akan berpendapat bahwa, terdapat suatu harmoni yang
dalam arti manusia dengan alam. Apa yang “tertinggi dalam jiwa” juga merupakan
“yang terdalam dalam alam”. Manusia merasa ada rumahnya dengan alam; ia
bukanlah orang atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini suatu sistem
yang logis dan spiritual; dan hal ini tercermin dalam usaha manusia untuk
mencari kehidupan yang lebih baik. Jiwa (self) bukannya satuan yang
terasing atau tidak rill, jiwa adalah bagian yang sebenarnya dari proses alam.
Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktivis, akal,
jiwa, atau perorangan. Manusia sebagai satuan bagian dari alam menunjukkan
struktur alam dalam kehidupan sendiri.
Pokok utama yang diajukan oleh idealisme adalah
jiwa mempunyai kedudukan yang utama dalam alam semesta. Sebenarnya, idealisme
tidak mengingkari materi. Namun, materi adalah suatu gagasan yang tidak jelas
dan bukan hakikat. Sebab, seseorangakanmemikirkan materi dalam hakikatnya yang
terdalam, dia harus memikirkan roh atau akal. Jika seseorang ingin mengetahui
apakah sesungguhnya materi itu, dia harus meneliti apakah pikiran itu, apakah
nilai itu, dan apakah akal budi itu, bukannya apakah materi itu.
Paham
ini beranggapan bahwa jiwa adalah kenyataan yang sebenarnya. Manusia ada karena
ada unsur yang tidak terlihat yang mengandung sikap dan tindakan manusia.
Manusia lebih dipandang sebagai makhluk kejiwaan/kerohanian. Untuk menjadi
manusia maka peralatan yang digunakannya bukan semata-mata peralatan jasmaniah
yang mencakup hanya peralatan panca indera, tetapi juga peralatan rohaniah yang
mencakup akal dan budi. Justru akal dan budilah yang menentukan kualitas
manusia.
a.
Jenis-Jenis Idealisme
Sejarah idealisme cukup berliku-liku dan meluas
karena mencakup berbagai teori yang berlainan walaupun berkaitan. Ada beberapa
jenis idealisme: yaitu idealisme subjektif, idealisme objektif, dan
idealisme personal.
1. Idealisme Subjektif
Idealisme subjektif adalah filsafat
yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide manusia atau ide sendiri.
Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu yang timbul
dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide
manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah
sebuah ide/fikiran dari dirinya sendiri atau ide manusia.
Salah satu tokoh terkenal dari aliran
ini adalah seorang dari inggris yang bernama George Berkeley (1684-1753 M).
Menurut Berkeley, segala sesuatu yang tertangkap oleh sensasi/perasaan kita itu
bukanlah materi yang real dan ada secara
objektif.
2. Idealisme Objektif
Idealisme Objektif adalah idealisme yang bertitik
tolak pada ide di luar ide manusia. Idealisme objektif ini dikatakan bahwa akal
menemukan apa yang sudah terdapat dalam susunan alam.
Menurut idealisme objektif segala sesuatu baik
dalam alam atau masyarakat adalah hasil dari ciptaan ide universil. Pandangan
filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materi, yang ada
secara abadi di luar manusia, sesuatu yang bukan materi itu ada sebelum dunia
alam semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya.
Filsuf idealis yang pertama kali
dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian. Pertama, dunia
persepsi, dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak; bukan dunia yang
sesungguhnya, melainkan bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat
alam di atas alam benda, yakni alam konsep, idea, universal atau esensi yang
abadi.
3. Idealisme Personal
(personalisme)
Idealisme personal yaitu nilai-nilai
perjuangannya untuk menyempurnakan dirinya. Personalisme muncul sebagai protes
terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis,
realitas dasar itu bukanlah pemikiran yang abstrak atau proses pemikiran yang
khusus, akan tetapi seseorang, suatu jiwa atau seorang pemikir.
b.
Tokoh-Tokoh Idealisme
1. J.G. Fichte (1762-1814 M)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof
Jerman. Ia belajar teologi di Jena pada tahun 1780-1788. Filsafat menurut
Fichte haruslah dideduksi dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi
tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang
dimaksud ada di dalam etika. Bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi
pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman
adalah tindakan, bukan fakta.
Menurut pendapatnya subjek “menciptakan” objek.
Kenyataan pertama ialah “saya yang sedang berpikir”, subjek menempatkan diri
sebagai tesis. Tetapi subjek memerlukan objek, seperti tangan kanan
mengandaikan tangan kiri, dan ini merupakan antitesis. Subjek dan objek yang
dilihat dalam kesatuan disebut sintesis. Segala sesuatu yang ada berasal dari
tindak perbuatan sang Aku.
2. G.W.F Hegel (1798-1857
M)
Hegel lahir di Stuttgart, Jerman
pada tanggal 17 Agustus 1770. Ayahnya adalah seorang pegawai rendah bernama
George Ludwig Hegel dan ibunya yang tidak terkenal itu bernama Maria Magdalena.
Pada usia 7 tahun ia memasuki sekolah latin, kemudian gymnasium. Hegel muda ini
tergolong anak telmi alias telat mikir! Pada usia 18 tahun ia
memasuki Universitas Tubingen. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi seorang
tutor, selain mengajar di Yena. Pada usia 41 tahun ia menikah dengan Marie Von
Tucher. Karirnya selain menjadi direktur sekolah menengah, juga pernah menjadi
redaktur surat kabar. Ia diangkat menjadi guru besar di Heidelberg dan kemudian
pindah ke Berlin hingga ia menjadi Rektor Universitas Berlin (1830).
Ø Pokok-Pokok
Pikiran (Filsafat) Hegel
Tema fisafat Hegel adalah Ide Mutlak. Oleh
karena itu, semua pemikirannya tidak terlepas dari ide mutlak, baik berkenaan
dari sistemnya, proses dialektiknya, maupun titik awal dan titik akhir
kefilsafatannya. Oleh karena itu pulalah filsafatnya disebut filsafat idealis,
suatu filsafat yang menetapkan wujud yang pertama adalah ide (jiwa).
a. Rasio, ide, dan roh
Hegel sangat mementingkan rasio, tentu saja karena
ia seorang idealis. Yang dimaksud olehnya bukan saja rasio pada manusia
perseorangan, tetapi rasio pada subjek absolut karena Hegel juga
menerima prinsip idealistik bahwa realitas seluruhnya harus disetarafkan dengan
suatu subjek. Dalil Hegel yang kemudian terkenal berbunyi: “ Semua yang real
bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real.” Maksudnya, luasnya
rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran
(idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan
perkataan lain, realitas seluruhnya adalah Roh yang lambat laun menjadi
sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap
kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan
perasaan.
Pusat fisafat Hegel ialah konsep Geist
(roh,spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak
sulit dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkret,
kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai world of
spirit (dunia roh), yang menempatkan ke dalam objek-objek khusus. Di dalam
kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan juga esensi sejarah
manusia.
Demi alam kembalilah idea atau roh kepada diri sendiri. Dalam fase ini,
mula-mula roh itu merupakan roh subjektif, kemudian roh objektif, dan akhirnya
roh mutlak.
Sebagai roh subjektif, roh itu mengenal dirinya dan merupakan tiga tingkatan:
antropologi, fenomologi, dan psikologi. Dalam antropologi, kenalah roh itu akan
dirinya dalam penjelmaan pada alam. Dalam fenomenologi, kenalah dia akan
dirinya dalam perbedaannya dengan alam. Adapun pada psikologi, roh mengenal
dirinya dalam kemerdekaan terhadap alam, mula-mula teoritis, kemudian praktis
dan akhirnya merdekalah roh itu.
Maka meningkatlah kepada roh objektif. Roh objektif ini roh mutlak yang
menjelma pada bentuk-bentuk kemasyarakatan manusia, hak dan hukum kesusilaan
dan kebajikan. Dalam hak dan hukum terdapat penjelmaan roh merdeka itu pada
hukum-hukum umum. Di samping itu adalah kesusilaan yang merupakan kebatinan.
Pada sintesis keduanya itu terlahirlah kebajikan.
Sampailah sekarang kepada roh mutlak. Roh mutlak
itu ialah idea yang mengenal dirinya dengan sempurna itu merupakan sintesis
dari roh subjektif dan objektif. Tak ada lagi, pertentangan antara subjek dan
objek antara berpikir dan ada.
Oleh karena roh mutlak ini sebenarnya gerak juga,
maka dia menunjukkan perkembangan juga: seni (tesis), agama (antitesis) dan
kemudian filsafat (sintesis). Seni itu memperlihatkan idea dalam pandangan
indera terhadap dunia, objeknya masih di luar subjek. Adapun agama tidak lagi
mempunyai subjek di luar objek, melainkan di dalamnya. Tetapi segala pengertian
dan gambaran agama itu dianggap ada. Filsafat akhirnya merupakan sintesis dari
seni dan agama merupakan paduan yang lebih tinggi. Di sinilah idea mengenal
dirinya dengan sempurna. Dalam sejarah filsafat ternyata benar gerak idea itu,
yaitu tesis, antitesis, dan akhirnya sintesis. Misalnya: Parmenides (tesis),
Heraklitos (antitesis), dan Plato (sintesis).
b. Dialektika
Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel
menggunakan dialektika sebagai metode. Yang dimaksud oleh Hegel dengan
dialektika adalah mendamaikan, mengompromikan hal-hal yang berlawanan.
Proses dialektika selalu terdiri atas
tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya
timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antitesis
menghilang. Dapat juga tidak menghilang, dia masih ada, tetapi sudah diangkat
pada tingkat yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera
menjadi tesis baru, dihadapi oleh antitesis baru, dan menghasilkan sintesis
baru lagi, dan seterusnya.
Tesis adalah pernyataan atau teori
yang didukung oleh argumen yang dikemukakan, lalu antitesis adalah pengungkapan
gagasan yang bertentangan. Sedangkan sintetis adalah paduan (campuran) berbagai
pengertian atau hal sehingga merupakan kesatuan yang selaras.
Contoh tesis, antitesis, dan sintesis.
1.
Yang “ada” (being)
merupakan tesis kemudian berkontraksi dengan “tak ada” (not being)
sebagai antitesis, kemudian menghasilkan menjadi (becoming) sebagai sintesis.
2.
Dalam keluarga, suami-istri adalah dua makhluk
berlainan yang dapat berupa tesis dan antitesis. Anak dapat merupakan sintesis
yang mendamaikan tesis dan antitesis.
3.
Mengenai bentuk Negara
Tesis
: Negara diktator. Di Negara ini hidup kemasyarakatan diatur dengan
baik, tetapi para warganya tidak mempunyai kebebasan apapun juga.
Antitesis : Negara anarki.
Dalam Negara anarki para warganya mempunyai kebebasan tanpa
batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau.
Sintesis
: Negara konstitusional. Sintesis ini mendamaikan antara pemerintahan
diktator dengan anarki menjadi demokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar