Sample Text

Ads 468x60px

Social Icons

Featured Posts

Senin, 07 Desember 2015

KONSEP FILSAFAT ISLAM TENTANG TUHAN, ALAM, DAN MANUSIA

A.       Konsep Tuhan di Dalam Filsafat Islam
Berbicara tentang ketuhanan, berarti membicarakan sebuah konsep yang menjadi salah satu cabang filsafat yang umurnya seumur peradaban manusia itu sendiri.
Dari sudut pandang Islam, sendirinya wacana ketuhanan adalah salah sebuah cabang keilmuan tersendiri. Al-Qur’an menyebut kata ‘Allah’ sebanyak 2072 kali. Ini sekiranya sudah cukup menjadi bukti bahwa eksistensi Tuhan di dalam Islam terbukti. Maka tersebutlah nama Abu Nasr ibn al Farakh al Farabi dan  Abu ‘Ali al Husain ibn’Abdullah ibn Sina. Kedua Filsuf Neo-Platonism[1] memang sedikit unik, karena meskipun secara tidak langsung namun mereka berdua mempunyai hubungan ‘murid dan guru’. Al Farabi (260-339 H/ 873-950 M) adalah salah seorang filsuf Muslim yang mengasimilasi konsep ketuhanan Aristoteles, dan barulah sekitar satu abad berikutnya Ibnu Sina (370-428 H/ 980-1037 M) datang dengan konsep yang mengasimilasi lebih jauh filsafat Aristoteles, sekaligus menyempurnakan karya al Farabi.
1.         Konsep Ketuhanan al Farabi
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwasanya al Farabi adalah salah seorang filsuf Neo-Platonism. Konon, dengan hadirnya al Farabi, jadilah dirinya Filsuf pertama yang membangun Neo-Platonism di dunia Islam. 
Tuhan, menurut al Farabi baginya Allah adalah sebab pertama bagi segala sesuatu di dunia ini (al Maujud al Awwal).  Bagi al Farabi, segala sesuatu yang bersifat  ada di dunia ini hanya ada dua; Wajib al wujud (Allah) dan mumkin al wujud (Alam Semesta).
Maka sebelum kita beranjak lebih jauh untuk memahami konsep Wajib al wujud dan mumkin al wujud, kiranya kita untuk memahami teori gerak Aristoteles yang menjadi dasar argumen ketuhanan al Farabi.
Menurut Aristoteles, setiap yang berwujud memiliki kemampuan untuk bergerak.  Gerak, menurut Aristoteles adalah perpindahan dari potensi ke aksi.  Perpindahan tersebut dilakukan karena adanya pelaku. Dan pelaku ini tidaklah lain sebagai seorang  penggerak yang tidak bergerak Sebagai asal muasal  dari setiap pergerakan yang ada di dunia ini.
Dan teori gerak inilah yang digunakan al Farabi untuk menjelaskan konsep wujudnya. Bagi al-Farabi, mumkin al wujud di dalam ciptaan di dunia ini membutuhkan adanya Wajib al wujud yang menggerakkan secara sistematis perputaran alam semesta ini.
Di sinilah terlihat bagaimana al Farabi berhasil memformulasikan filsafat Neo-Platonism di dalam Islam. Kaitannya, dalam menerangkan Tuhan. Allah merupakan  Wajib al wujud bi zatihi. Allah adalah Zat yang ada dan merupakan sebab pertama bagi setiap yang bergerak. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, ia tidak bisa disamakan dengan materi yang lain di alam, dan dia juga sebagai objek pengetahuan. Maka jadilah konsep Allah dalam pandangan al Farabi adalah Tuhan yang Wajib al Wujud. Tuhan yang baik secara wujud dan esensi tidak terpisah.
2.         Konsep Ketuhanan Ibnu Sina
Ibnu Sina, sebagai salah seorang yang juga dipengaruhi Neo-Platonism lewat tangan al Farabi secara umum tidak jauh beda. Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan pendekatan ontologis[2] sebagaimana telah dipaparkan oleh al Farabi.
Ibnu Sina, perihal argumen ketuhanannya menyampaikan sebagaimana berikut, “Sesungguhnya sebab (‘illah) atas tidak ada (‘adam)-nya sesuatu adalah sebab ketiadaan atas ada-(wujud)-nya itu. Sedangkan sebab adanya sesuatu adalah perihal yang mewajibkan daripadanya wujud.” Di sini Ibnu Sina mengawali pendapatnya dengan sebuah kelaziman betapa setiap  yang ada wajiblah daripadanya sebab yang menjadikan ada itu ada.
Namun, tatkala  ditemukan sebab yang membuat ada itu tidak ada, Ibnu Sina tidak serta merta memutuskan bahwa sebab itulah yang menyebabkan tidak ada-nya ada itu. Hal ini dikarenakan jikalau setiap  ada menjadi ada dikarenakan sebab yang menyebabkan ada  itu ada dari tidak ada maka yang akan terjadi adalah jika tidak ada sebab yang menyebabkannya ada, maka ada itu akan abadi di tidak ada.
Di sini Ibnu Sina menyatakan, bahwa ketiadaan adalah kondisi pertama yang dimiliki sebuah ada sebelum ia berwujud nyata. Maka dipastikanlah, setiap yang ada di dunia berasal dari ketiadaan dan adanya sebab di luar zat ada yang bertugas ‘mengeluarkan’  ada dari sebab. Gejala semacam inilah yang dinamakannya mumkin al wujud (Alam Semesta). Namun bagaimana kita bisa menemukan asal muasal penciptaan, jikalau teori ini digunakan, jelas bahwa tidak akan ada habisnya.
Dari sinilah kemudian Ibnu Sina menerangkan argumen tentang  Wajib al wujud (Allah) sebagai Esensi mutlak yang menjadi sebab pertama dari segala   macam pergerakan yang ada di alam. Menurut Ibnu Sina, ketika sesuatu wujud membutuhkan sebab yang berada di luar sebab, tidak mungkin juga bersifat  mumkin al wujud sebagai zatnya. Maka analisa logis yang bisa dianalisa dan disimpulkan di sini adalah sebuah kesadaran atas kenyataan Wajib al wujud. Dengan itu Ibnu Sina menyetujui keberadaan alam semesta ini merupakan akibat dari kehendak Tuhan yang menjadikan wujud-wujud alam semesta.
3.         Analisis Perbandingan
Berdasarkan dua konsep ketuhanan yang telah dipaparkan dari dua perspektif filsuf muslim yang berbeda era, agaknya dapat kita ambil beberapa macam kesimpulan di bawah ini sebagai wacana perbandingan:
a.         Al Farabi sebagai filsuf pertama yang bermadzhabkan  Neo-Platonism nampaknya masih terpengaruh banyak oleh Aristoteles. Hal ini terlihat dari penggunaan  istilah-istilah asing yang masih menyisakan hawa Yunani. Sedangkan di tangan Ibnu Sina yang hidup satu abad setelahnya definisi berkaitan dengan ketuhanan terlihat sudah mulai mengalami islamisasi. Seperti ‘illah,  wujud, dan ‘adam. Ini agaknya mafhum, sebagai indikasi bahwa Ibnu Sina berhasil mengembangkan dan mengasimilasi lebih jauh filsafat al Farabi.
b.         Keduanya sepakat akan proses penciptaan yang bernafaskan emanasi, dengan  Wajib al Wujud  yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tuhan dalam pandangan al Farabi dan Ibnu Sina secara umum kita dapati merupakan asimilasi dari filsafat ketuhanan yang berusaha mempertemukan antara teori Aristoteles dan Neo-Platonism.  Yang mana menekankan pada satu Wujud atau Sumber Utama yang darinya alam semesta tercipta secara sedemikian rupa sehingga tidak merusak kesatuan mutlak Sang Mahatunggal tersebut. Di sini, sebagai salah satu wacana intelktual Islam, al Farabi dan Ibnu Sina berupaya mengadaptasi dan mengasimilasi konsep-konsep yang adadi dunia Filsafat Yunani Kuno, mengoreksinya, serta mengklasifikasi konsep-konsep filsafat yang cocok dengan Islam.
B.       Konsep Alam di Dalam Filsafat Islam
Al-Ghazali merupakan tokoh penentang filsafat Islam. Oliver Leaman dalam Pengantar Filsafat Islam menulis bahwa Al-Ghazali seringkali menyerang para filsuf dengan dasar argumen yang mereka pergunakan sendiri, sambil menyampaikan pendapatnya secara filosofis dengan menyatakan bahwa tesis-tesis utama mereka adalah tidak benar dilihat dari sudut-sudut dasar logika itu sendiri.
Sebagai contoh, dalam bukunya The Incoherence of the philosophers (Tahafut al-Falasifah), Al-Ghazali membentangkan dua puluh pernyataan yang ia coba buktikan kesalahannya. Tujuh belas di antaranya menimbulkan bid’ah karena dianggap menyimpang dari ajaran yang asli, yakni Alquran. Dan, tiga di antaranya benar-benar membuktikan apa yang ia ka tegorikan sebagai orang yang tidak beriman, bahkan dengan tuduhan yang lebih berat lagi.
Mengenai pandangan yang keliru dari para filsuf ini, Al-Ghazali mengungkapkan pendapatnya sebagaimana ia paparkan dalam bukunya yang berjudul Munqidh min adh-Dhalal bahwa “kekeliruan para filsuf terdapat dalam ilmu-ilmu metafisik. Karena ternyata mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti yang pasti menurut persyaratan yang mereka perkirakan ada dalam logika. Maka, dalam banyak hal mereka berbeda pendapat dalam persoalan-persoalan metafisik. Ajaran Aristoteles tentang masalah-masalah ini, sebagaimana yang dilansir oleh Farabi dan Ibnu Sina, mendekati inti pokok ajaran filsafat Islam”.
Salah satu filsuf Muslim yang mendapat kritikan dari Al-Ghazali adalah Ibnu Rusyd. Menurut Leaman, silang pendapat antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sangat menarik karena argumen-argumen yang disampaikan oleh keduanya selalu melahirkan masalah-masalah khusus yang bersifat kontroversial. Contohnya adalah perdebatan Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd tentang penciptaan alam.
1.         Konsep Alam Al Ghazali
Tentang penciptaan alam, Al-Ghazali mempunyai konsep yang sangat berbeda dari konsepsi yang dimiliki para filsuf Muslim. Para filsuf Muslim, termasuk Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa alam itu qadim, yakni tidak bermula dan tidak pernah ada. Sementara itu, Al-Ghazali berpikir sebaliknya.
Bagi Al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim, mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim-nya alam membawa kepada simpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan Tuhan. Dan, ini berarti bertentangan dengan ajaran Alquran yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenap alam (langit, bumi, dan segala isinya).
Bagi Al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam, alam ada di samping adanya Tuhan. Sebaliknya, bagi para filsuf Muslim, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang ada dengan sendirinya. Menurut mereka, alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak azali/qadim. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam.
Gambaran bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut para filsuf Muslim, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu mustahil pula Tuhan berubah dari pada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta. 
2.         Konsep Alam Ibnu Rusyd
Dalam rangka menangkis serangan Al-Ghazali terhadap paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa paham itu tidak bertentangan dengan ajaran Alquran. Bahkan sebaliknya, pendapat para teolog yang mengatakan bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada, justru tidak mempunyai dasar dalam Alquran.
Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Alquran (QS 11: 7; QS 41: 11; dan QS 21: 30) dapat diambil simpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada, tapi dari sesuatu yang telah ada. Ia mengungkapkan hal ini dalam kitabnya Tahafut Tahafut al-Falasifah (Kehancuran bagi Orang yang Menghancurkan Filsafat). Selain itu, ia mengingatkan bahwa paham qadim-nya alam tidaklah harus membawa kepada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya atau dijadikan oleh Tuhan.
Sementara itu, menurut Sulaiman Dunya dalam pengantarnya tentang "Al-Ghazali: Biografi dan Pemikirannya", dalam Terjemahan Tahafut al-Falasifah, karya Al-Ghazali ini belum menggambarkan secara keseluruhan pemikiran Al-Ghazali. Sebab, komentar AlGhazali tentang kehancuran para filsuf ini, kata Sulaiman, sebelum ia mendapatkan pencerahan petunjuk mengenai `ketersingkapan tabir sufistik' (al-kasyf ash-Shufiyyah). Maksudnya, secara keseluruhan AlGhazali menerima pemikiran filsafat selama pandangan itu sesuai dengan pandangan Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
3.         Konsep Alam Al Farabi
Salah satu filsafat al-Farabi adalah teori emanasi yang di dapatnya dari teori Plotinus apabila terdapat satu zat yang kedua sesudah zat yang pertama, maka zat yang kedua ini adalah sinar yang keluar dari yang pertama. Sedang Ia (Yang Esa) adalah diam, sebagaimana keluarnya sinar yang berkilauan dari matahari, sedang matahari ini diam. Selama yang pertama ini ada, maka semua makhluk terjadi dari zat-Nya.
Oleh sebab itu, filsafat al-Farabi ini mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Satu. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berobah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakekat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu? Menurut al-Farabi alam ini terjadi dengan cara emanasi.
Persoalan di atas, adalah sebuah rasa penasaran dari al-Farabi karena ia menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya banyak (alam) yang bersifat materi dari Yang Maha Esa  (Allah) jauh dari arti materi dan Mahasempurna. Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah pencipta alam, melainkan Penggerak Pertama, ini telah dikemukakan oleh Aristoteles. Di dalam doktrin ortodoks Islam (al-mutakallimin), Allah adalah pencipta, yang menciptakan dari tiada menjadi ada. Al-Farabi dan para filosof Muslim lainnya mencoba untuk mengIslamkan doktrin ini. Maka mereka mencoba untuk melihat doktrin Neoplatonis Monistik tentang emanasi. Dengan demikian, Tuhan yang dianggap penggerak Aristoles menjadi Allah Pencipta, yang menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Dalam arti, Allah menciptakan alam semenjak azali, materi alam berasal dari energi yang qadim, sedangkan susunan materi yang menjadi alam adalah baharu. Sebab itu, menurut filosof Muslim, Kun (jadilah) Allah yang termaktub dalam al-Qur’an ditujukan kepada Syai (sesuatu) bukan kepada La syai’ (nihil).
Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 82.
 ”Sesungguhnya segala urusan-Nya apabila dia menghendaki sesuatu hanyalah Berkata kepadanya: "Jadilah!" Maka terjadilah ia. (Q.S. Yasin ayat 82).
Al-Farabi berpendapat Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (al wujudul awwal) dan dengan pemikirannya itu timbul wujud kedua (al wujudul tsani) yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama (al aklu awwal) yang tidak bersifat materi. Sedangkan wujud kedua berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran inilah timbul wujud ketiga (wujudul tsalis) disebut Akal Kedua (al aklu tsani).
a.         Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya hingga timbullah Langit Pertama (al-Asmaul awwal).
b.         Wujud III / Akal kedua menimbulkan Wujud  IV/Akal Ketiga yakni bintang-bintang).
c.         Wujud IV/Akal Ketiga menimbulkan Wujud V/Akal Keempat, yakni Planet Saturnus.
d.        Wujud V/Akal Keempat menimbulkan Wujud VI/Akal Kelima, yakni Planet Jupiter.
e.         Wujud VI/Akal Kelima menimbulkan Wujud VII/Akal Keenam, yakni Planet Mars.
f.          Wujud VII/Akal Keenam menimbulkan Wujud VIII/Akal Ketujuh, yakni Matahari.
g.         Wujud VIII/Akal Ketujuh menimbulkan Wujud IX/Akal Kedelapan,yakni Planet Venus.
h.         Wujud IX/Akal Kedelapan menimbulkan Wujud X/Akal Kesembilan, yakni Planet Mercurius.
i.           Wujud X/Akal Kesembilan menimbulkan Wujud XI/Akal Kesepuluh, yakni Bulan.

Wujud yang dimaksud adalah Wujud Tuhan. Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi yang menjadi dasar dari keempat unsur, yaitu api, udara, air, dan tanah.
Sebuah pertanyaan, mengapa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh? Hal ini disesuaikan dengan bilangan bintang yang berjumlah sembilan. Selain itu, ditiap-tiap akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai sesuatu planet ketika keluar dari Tuhan. Tetapi mengapa jumlah bintang tersebut ada 9 (sembilan)? Karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian barulah al-Farabi menambah dua lagi, yaitu benda langit yang terjauhdan bintang-bintang tetap. Ia menyatakan bahwa jumlah akal ada sepuluh , sembilan di antaranya untuk mengurus benda-benda langit yang sembilan, sedangkan akal sepuluh yaitu akal bulan yang mengawasi dan mengurusi kehidupan dibumi. Akal itu saling berurutan, maka pada Tuhan, yaitu Wujud Pertama yang hanya terdapat pada satu objek pemikiran yaitu zat-Nya saja. Tetapi pada akal-akal tersebut terdapat dua objek pemikiran yaitu Tuhan dan diri akal itu sendiri. Pemikiran akal pertama dalam kedudukannya sebagai Wajibul Wujud karena Tuhan, dan sebagai Wujud yang mengetahui Tuhan, keluarlah akal kedua dan seterusnya.
C.       Konsep Manusia di Dalam Filsafat Islam
Perbincangan mengenai manusia sudah dimulai sejak jaman Yunani Kuno. Para pemikir jaman Yunani Kuno seperti Plato dan Aristoteles sudah mulai memperbincangkan apa itu manusia? Manusia begitu komplek dan mencakup banyak dimensi di dalamnya.
Kemudian tokoh filsafat islam yang dipilih untuk mewakili gagasan tentang manusia tersebut adalah Ibn Rusyd (Averroes). Konsep tentang manusia yang akan dibahas pun langsung difokuskan pada konsep tubuh dan jiwa.
1.         Jiwa
Dualisme mengenal dua jenis wujud yang ada dalam diri manusia. Pertama adalah apa yang digerakkan (bendanya) dan apa yang menjadi penyebab penggerak benda tersebut. Dengan kata lain juga bisa kita definiskan sebagai sesuatu yang jasmani dan spiritual. Bagi Ibn Rusyd, unsur spiritual dalam diri manusia mempunyai kesatuan dan kesempurnaan yang lebih tinggi dari semua yang ada. Namun tetap yang materi pun mempunyai peran yang besar dalam proses pemikiran. Artinya dalam diri manusia bukan lagi terdapat dua substansi melainkan satu "materi" dan "bentuk" sebagai kesatuan dan mempunyai korelasi.
Ibn Rusyd dengan tegas mengatakan bahwa jiwa manusia berhubungan dengan tubuh. Maksudnya kurang lebih bahwa jiwa mempunyai eksistensi hanya sebagai sebuah pelengkap dari tubuh, yang dengannya dipersatukan juga oleh jiwa. Ibn Rusyd dalam tulisannya yang berjudl Fil Nafsi menegaskan bahwa antara nyawa (al-Ruh) dengan jiwa (al Nafis) merupakan dua realitas yang berbeda. Namun yang menarik adalah Ibn Rusyd bahwa ketika berbicara tentang ruh, Ibn Rusyd menggunakan ayat dalam Al Quran di dalam surat al-Isra ayat 85. Isinya kurang lebih mengatakan bahwa ruh itu urusan Tuhanku. Manusia tidak diberika ilmu sedikitpun tentang itu. Kutipan penjelasn di bawah ini bisa langsung menghantar kita untuk semakin jelas mengenali apa itu jiwa: "Jiwa berbeda dengan nyawa, dan juga dengan akal. Jiwa itu suatu zat, dan bukan suatu tubuh. Jiwa adalah sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia. Syailul lazi yashbahu bihil insanu insianan, artinya jiwa itu sesuatu yang hidup dan berilmu dan berkodrat".
Kutipan paragraf di atas seolah ingin menekankan bahwa kegiatan jiwa lebih pada seputar kegiatan berpikir. Hal tersebut yang kemudian membuat Ibn Rusyd mendeskripsikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal bagi tubuh yang bersifat alamiah dan mekanis. Disebut alamiah dan mekanistik dengan tujuan ingin membedakan dengan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal dari perilaku dan emosi. Makna kesempurnaan ini pun ingin juga mengarahkan pada keberagaman dari bagian jiwa, jiwa khayalan, jiwa hasrat, jiwa rasional, dll. Definisi tersebut sebenarnya sudah dipakai oleh Aristoteles dalam mendeskripsikan jiwa. Jiwa itu hakikatnya adalah satu. Ibn Rusyd sering menyebut kesatuan jiwa itu sebagai jiwa umum.
2.         Akal Sebagai Wujud Jiwa
Menurut Ibn Rusyd wujud jiwa paling nyata tampak dalam akal yang dipunyai manusia. Akal manusia itu adalah satu dan universal. Lebih dalam "akal yang aktif" yang dimaksud bukan saja akal yang esa dan universal, melainkan juga menyangkut "akal kemungkinan". Akhirnya Poerwantana dalam bukunya menyimpulkan bahwa akal yang dimaksud Ibn Rusyd ini dianggap sebagai monopsikisme. Akal kemungkinan lah yang membuat manusia sungguh menjadi individu ketika ia berhubungan dengan tubuh masing-masing manusia. Melihat sifat akal yang ada dalam individu tersebut sifatnya reseptif, resikonya bahwa ketika manusia meninggal, maka akal kemungkinan pun akan lenyap. Akal yang dimiliki seseorang sifatnya tidak abadi, yang abadi adalah akal yang esa dan universal, sesuatu yang menjadi sumber dan tempat kembalinya akal masing-masing manusia. "...pengakuan Ibn Rusyd tentang akal yang bersatu dimaksudkan sebagai pengakuannya atas roh (jiwa) manusia yang bersatu, sebab akal adalah mahkota terpenting dari wujud roh (jiwa) manusia. Dengan kata lain, akal itu di sini hanyalah sebagai wujud rohani yang membedakan jiwa (roh) manusia atau mengutamakannya lebih dari jiwa (roh) hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah yang dimaksud dengan monopsikisme (bahan yang menjadikan segala jiwa). Maksud Ibn Rusyd roh universal itu adalah satu dan abadi (kekal)." Penjelasan mengenai akal universal dan akal reseptif tidak bisa lantas membuat kita langsung menyimpulkan bahwa Ibn Rusyd menolak kehidupan setelah kematian. Dalam filsafatnya, Ibn Rusyd juga berbicara mengenai kebangkitan jasmani. Ibn Rusyd menyangkal apa yang dikatakan oleh Al Ghazali bahwa filsuf-filsuf mengingkari kebangkitan jasmani.
3.         Panca Indera
 Melihat latarbelakang filsafat Ibn Rusyd yang banyak mendasarkan diri pada pemikiran Aristoteles, hal itu juga terungkap dalam ajaran Ibn Rusyd dalam memandang tubuh. Berbeda dengan Plato yang menganggap bahwa tubuh hanya menjadi penjara bagi jiwa. Antara tubuh dan jiwa mempunyai sebuah korelasi. Korelasi tersebut secara jelas bisa terlihat dalam proses pengenalan rational. Secara khusus, saya sulit untuk menemukan definisi Ibn Rusyd tentang apa itu tubuh? Ibn Rusyd lebih banyak menjabarkan tentang aktivitas jiwa yang berkorelasi dengan tubuh. Salah satu konsep yang akan kita jabarkan adalah panca indera. Karena di dalamnya kita bisa langsung menangkap bagaimana tubuh pun mempunyai peran dan berkorelasi dengan jiwa.
Ibn Rusyd menjabarkan bahwa panca indera itu adalah indera pengelihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan terakhir peraba. Pengelihatan berfungsi menerima makna secara bebas dari akal potensial, yang bagaimanapun merupakan makna-makna yang bersifat individual. Daya pengelihatan mempersepsi dengan menggunakan perantara transparansi. Pendengaran, intinya bahwa dengan menggunakan penedengaran manusia mampu menangkap suara-suara yang muncul akibat benturan dari benda-benda keras. Udara yang bergerak akibat benturan dari benda keras sampai ketelinga. Udara tersebut kemudian menggerakkan udara yang ada dalam telinga sebagai bagian dari tubuh yang berfungsi sebagai alat pendengaran. Ketiga indera Penciuman. Bagian dari fungsi tubuh yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap bau. Indera ini membutuhkan air dan udara sebagai perantaranya. Seperti halnya Aristoteles, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa penciuman manusia lebih lemah daripada hewan. Keempat, indera pengecapan (perasa). Sebuah daya untuk menangkap rasa sesuatu. Kerjanya dengan meletakkan objek di atasnya. Kelima, indera peraba. Sebuah daya jiwa yang menggunakan tubuh untuk mengenali objek. Daya yang mengalami kesempurnaan karena berbagai hal yang diraba.

0 komentar:

Posting Komentar